Dampak Globalisasi di Bidang Politik
A. Globalisasi
Globalisasi adalah suatu
kata yang mungkin paling banyak dibicarakan orang dalam waktu beberapa tahun
terakhir ini, dengan pemaknaan yang beragam. Namun, apa yang dipahami sebagai
istilah globalisasi akhirnya membawa kesadaran bagi semua penghuni planet ini
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja satu sama lain walau ada
rentang jarak yang secara fisik membentang. Dunia dipandang sebagai satu
kesatuan dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung satu sama lain.
Waters (1995) mengemukakan definisi
globalisasi sebagai suatu proses sosial dimana terdapat perlawanan secara
geografis pada kemunduran perubahan social dan kebudayaan. Teori globalisasi
diletakkan pada kehadiran pembangunan ilmu social. Faktor industrialisasi memegang
peranan penting dalam pembahasan globalisasi.
Dampak positif Globalisasi
:
1. Mudah memperoleh
informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan
komunikasi
3. Cepat dalam bepergian (
mobili-tas tinggi )
4. Menumbuhkan sikap
kosmopo-litan dan toleran
5. Memacu untuk
meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi kebutuhan
Dampak negatif Globalisasi:
1. Informasi yang tidak
tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap menutup
diri, berpikir sempit
4. Pemborosan pengeluaran
dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh oleh
hal yang berbau barat
B. Dampak Globalisasi dalam
bidang Politik
Negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang
kunci dalam proses pembangunan. Para pengambil kebijakan publik di negara
sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah sosial
dan ekonomi. Timbulnya gelombang demokratisasi ( dambaan akan kebebasan ).
I. Globalisasi Politik
Analisis Daniel Bell (1995) mengenai
globalisasi dalam pengantar bab V buku globalization, cukup menarik, bahwa
negara menjadi sangat kecil untuk masalah kehidupan yang besar, dan terlalu
besar untuk masalah kehidupan yang kecil. Atau Ayu Utami (2001) mengungkapkan
dalam Larung bahwa …
Malcolm (1995) menungkapkan
bahwa ada lima ide dasar mengenai globalisasi. Ide-ide tersebut adalah
kedaulatan negara, proses penyelesaian masalah, organisasi internasional,
hubungan internasional dan budaya politik. Kelima ide tersebut berhubungan
dengan dimensi material pada suatu peningkatan dan saling berhubungan diantara
unit-unit ekonomi yang terpisah dari masyarakat.
Kedaulatan negara merupakan
ide dari proses transformasi bentuk negara di dunia. Ide ini dimulai dari
tingkatan non politik, hubungan antar masyarakat sampai kebutuhan untuk
mengeksiskan sumberdaya di sebuah negara dan kemungkinan pergantian konsep
pemerintahan. Peningkatan hubungan ekonomi dan kebudayaan antar negara
mengurangi kekuasaan dan keaktifan pemerintah pada tingkat negara-bangsa dan
pemerintahan. Sehingga pemerintah tidak dapat lagi menghegemoni pemikiran dan
bentuk-bentuk perekonomian pada wilayahnya. Akhirnya instrumen-instrumen yang
telah dibangun pemerintah menjadi tidak efektif.
Kekuatan demokrasi (yang dipahami sebagai
kekuatan massa) memakai media partai sebagai corong pembelaan ideologinya.
Partai sendiri mencoba untuk mengatur kesejahteraan anggota partainya
masing-masing. Untuk itu perlu stabilitas politik yang mantap. Konsep
stabilitas politik yang mantap, bukan hanya trade mark penganut Rostowian,
fenomena negara-negara komunis pun menunjukkan hal yang serupa. Sebagai langkah
taktis maka negara telah membuat beberapa kerangka kebijakan. Kebijakan
tersebut dijabarkan oleh Waters (1995) menjadi pertama pembangunan kapasitas
negara itu sendiri, sehingga pemberdayaan swasta menjadi sektor yang penting.
Di titik ini negara hanya berperan untuk mancerdaskan masyarakatnya dengan
melakukan pendidikan politik. Kedua tempat atau kekuasaan negara menjadi
tersembunyi dibalik kekuasaan para birokrat. Ketiga intervensi dari negara
cenderung merusak kestabilan dan mekanisme pasar. Keempat negara tidak mampu
lagi memberikan kemanan seperti terorisme, sindikat obat-obatan, AIDS dan
lingkungan. Kelima Dengan persekutuan internasional, negara menjadi lebih
berbahaya dari keamanan. Hal ini membagi dunia kepada permusuhan dimana
komitmen pengadaan teknologi militer mempunyai satu tujuan.
Globalisasi politik ini menjadikan negara
mengalami disetisasi atau pelemahan negara. Kelompok pendukung negara mulai
melokal. Komunitas perdagangan menjadi mengecil dan digantikan oleh kepentingan
lokal dan menjadi inisiatif warga negara.
Akibat globalisasi, ada
beberapa masalah yang dulu dianggap lokal menjadi masalah global. Isu masalah
ini sangat sensitif dan krusial, sehingga sering kali mengundang intervensi
dari suatu negara ke negara lain. Padahal setiap negara mempunyai hak yang
absolut untuk menentukan otonomi dari suatu negara.
Masalah hak-hak manusia (atau disebut dengan
etatocentric) akan membawa dan mengangkat kemampuan manusia untuk melawan
kedaulatan negara. Pelembagaan etatosentrik dari legal secara politik sampai
kepada ekonomi telah memberikan kesempatan kepada porsi nilai-nilai kemanusiaan
dalam pembangunan. Dalam posisi ini negara harus tunduk kepada beberapa
konvensi hak asasi manusia dan beberapa turunannya dalam konvensi hak PBB.
Implikasinya, sebuah negara harus bersikap demokratis dan siap untuk merubah
beberapa kebijakan yang melanggar etatosentrik. Internasionalisasi etatosentrik
lebih cenderung mengambarkan keberpihakan politik negara maju kepada negara
dunia ketiga.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan
dunia barat terhadap ‘perilaku’ negara dunia ketiga dalam mengeksplorasi sumber
dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna
dijadikan komoditas politik negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan
ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan (baca : hutang) luar negeri negara
dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk
demokratisasi tentunya) dengan versi negara investor. Standarisasi ini
menjadikan negara dunia ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap
politik negara masing-masing.
Kebutuhan akan agenda dan masalah bersama di
antara negara-negara di dunia mengerucut kepada ide untuk membentuk organisasi
internasional. Konsensus dari organisasi internasional ini telah membawa
kesadaran kolektif beberapa negara tehadap permasalahan yang dihadapinya.
Sebuah pembangunan di kawasan akan berhadapan dengan perbedaan budaya,
kebutuhan dan cara pandang suatu negara terhadap sikap sosial, politik,
ekonomi, budaya sampai pertahanan dan kemanan. Komunitas professional juga
mempunyai kebutuhan bersama terhadap ratifikasi traktat atau konvensi yang
diberikan oleh PBB. Pada akhirnya, jaringan organisasi ini lebih mudah untuk
digunakan dari pada kemampuan kekuatan diplomatik antara negara.
Fenomena cukup menarik ditunjukkan bahwa
globalisasi politik berimplikasi pada model hubungan internasional, secara
spesifik dengan globalisasi tiga dunia (kapitalis, sosialis maupun dunia
ketiga) dapat bersatu. Perang dingin telah menjadi sejarah, dan kepentingan
untuk membentuk dunia baru telah menjadi kepentingan bersama. Interpretasi dari
analisis ini ditunjukkan Waters (1995). Pertama pembangunan liberalisasi demi
menunjukkan meleburnya kekuatan super power (pasca Soviet). Kedua Kemenangan
USA dalam perang dingin dan perang di Kuwait (dan terbaru di Afghan) merupakan
kombinasi antara negara adi daya militeristik dengan negara yang kuat
pendanaan. Ketiga kepentingan dunia yang multipolar telah berganti menjadi
model hubungan internasional.
Analisis budaya politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai dan budaya politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara pandang dalam memahami hubungan antar negara. Implikasinya setiap negara kembali menguatkan tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia global.
Soros (2001) menilai kekuatan budaya negara
dan bangsa seperti etika confusian akan memenangkan pertarungan dalam
globalisasi ini. Namun pertarungan antara kepentingan
pribadi dan kapitalis akan berhadapan dengan kepentingan bangsa atau
kepentingan publik. Di sinilah perdebatan antara kapitalisme dan demokrasi. Untuk itu perlu kombinasi yang kuat
antara system kapitalisme dengan nilai demokrasi sebuah negara. Hegemoni negara
adi daya yang akan memainkan peran ini.
II. Implikasi Globalisasi
Politik Terhadap Negara Dunia Ketiga
Dalam kasus beberapa negara, terlihat bahwa
globalisasi mau tidak mau akan membawa dampak baik positif maupun negatif
terhadap negara-negara di dunia ketiga. Masalah pembangunan adalah isu sentral
dalam globalisasi. Perdebatan tentang globalisasi ini dapat dilihat dalam
Giddens (1995), yaitu budaya politik sampai konsep keluarga.
Dalam konteks budaya Giddens mencontohkan
pergeseran tradisi karena modernisasi. Tradisi adalah hasil dari proses
penciptaan manusia dimana faktor kekuasan sangat memegang peran terhadap
perubahan tersebut. Para pemimpin, Kaisar, Raja bahkan pemuka agama menciptakan
tradisi untuk membenarkan diri mereka sendiri dan membangun legitimasi bagi
kekuasaannya.
Realitas dunia melahirkan beberapa kombinasi
antara tradisi dengan ilmu pengetahuan. Banyak kasus seperti di India pada
tahun 1995. Pada saat itu dibangun opini bahwa para dewa juga meminum susu
implikasinya adalah pada hari itu dan hari kemudian terjadi sebuah fenomena
dimana banyak orang yang mempersembahkan susu dihadapan patung atau gambar
dewa-dewi. Teknologi dan pengaruh para pemuka agama menjadikan ketika fenomena
pemberian susu menjadi sebuah tradisi baru.
Ada juga kasus, dimana tradisi tunduk
terhadap modernisasi. Dalam kasus ini terjadi desakralisasi tradisi, sehingga
tradisi menjadi sangat kering dan dikomersialisasikan. Tumbuhnya globalisasi
yang memicu industrialisasi telah menghasilkan produk-produk tradisi menjadi
‘hanya’ sekedar oleh-oleh atau simbol kebudayaan suatu bangsa. Fenomena ini
menjelaskan bahwa pertama tradisi hanyalah menjadi alat legitimasi bagi
kekuasaan untuk membangun nasionalisme semu atau jati diri semu dari suatu
bangsa. Kedua tradisi telah dikalahkan oleh kebutuhan negara untuk mendapatkan
devisa yang besar dengan dalih ‘menjaga tradisi-tradisi luhur’ bangsa.
Desakralisasi ini menumbuhkan perilaku
fundamentalisme dan pragmatisme. Dalam kacamata pragmatisme tradisi hanyalah
suatu obyek untuk mengenalkan budaya bangsa terhadap dunia luar. Sedangkan
fundamentalisme berusaha untuk menjaga nilai-nilai dari tradisi agar tidak
tercabut dari akarnya. Fundamentalisme ini menghasilkan semangat puritan di
beberapa tempat yang akhirnya menciptakan gerakan anti westernisasi.
Dalam kebijakan dan teori ekonomi
pembangunan, dapat dilihat implikasi teori pembangunan terhadap negara dunia
ketiga atau negara-negara selatan. Implikasi kebijakan pembangunan ini
dapat dipetakan secara lebih mikro untuk ukuran benua. Negara-negara di Amerika
Latin termasuk negara-negara yang memiliki hutang besar pada bank-bank
internasional, kondisi ini disebabkan kebijakan penguasa yang tidak
menghasilkan peningkatan kapasitas produktif. Negara-negara Amerika Latin lebih
cenderung untuk berhadapan dengan kondisi internalnya sendiri, seperti masalah
demokratisasi yang berhadapan dengan diktator militer. Setelah kediktatoran
hancur, dilema baru datang yaitu kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dengan
kebijakan politik. Sehingga negara-negara ini membutuhkan “dokter” yang dapat
menyembuhkan mereka, dokter itu adalah IMF.
Implikasi dari industrialisasi membuat
negara-negara di Afrika harus mengejar GNP dan devisa negara. Rostowian telah
membuat syarat yaitu stabilisasi politik dan keamanan. Sehingga anggaran negara
lebih banyak diutamakan dalam membangun kekuatan militer. Untuk itu banyak
negara-negara di Afrika yang menggenjot industrialisasi dan mencoba membangun
ketahanan pangan. Revolusi hijau telah membuat keberhasilan semu dalam peningkatan
jumlah pangan. Keberhasilan dari industrialisasi dan modernisasi (plus
stabilisasi) membuat negara-negara Afrika ‘berhasil’ dalam penggenjotan devisa.
Namun, kondisi ini ternyata menyempitkan jumlah petani dan eksplorasi tanah.
Industrialisasi dan modernisasi telah memakan korbannya kembali.
Kasus di Asia banyak sekali permasalahan
pangan dan hutang negara. Fenomena yang paling mendasar selain kedua masalah di
atas adalah masalah etnis. Kasus etno politik seperti di Sri Lanka, Tibet,
Kashmir dan Ambon telah menjadikan kasus ini menjadi akut. Paradigma
pembangunan yang menjadi masalah dalam konteks ini adalah perubahan dari
ekonomi non dinamis yang diregulasi dan diproteksi dimana keberpihakan penguasa
pada salah satu etnis menjadikan sistem ekonomi tidak lancar. Kasus ini memicu
disintegrasi sosial, sehingga dibutuhkan kembali identifikasi etnis, jati diri
bangsa dan territorial.
ASEAN komponen organisasi internasional yang
beranggotakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara mempunyai hubungan politik,
geografis dan budaya. Masalah etnis dan hutang negara telah menjadi maslaha
bersama. Untuk kasus etnis terdapat maslaah antara etnis dengan penguasa
negara, seperti etnis Pattani di Thailand, Moro di Filipina, Melayu dan India
di Singapura, Jawa, Bugis di beberapa tempat dalam kawasan Indonesia.
Penyikapan masalah hutang negara juga sangat berbeda. IMF sangat bermain kuat
di Indonesia dan Thailand, padahal kesadaran arus bawah terhadap perilaku IMF
yang merugikan negara ini sudah jelas. Rejim Thailand yang baru sudah berani
untuk mengungkapkan bahwa kebutuhan akan kembali ke identitas nasional dan
menolak secara halus IMF.
Malaysia dengan Mahathir sudah dengan tegas
menolak IMF. Strategi yang dibangun oleh Malaysia adalah mengurangi pengeluaran
negara sebesar 18 %, menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi dari 7 % menjadi
4-5 %, memperbesar dukungan terhadap industri kecil dan menengah, memproteksi
invenstor dalam negeri untuk melakukan investasi di luar negeri, menggenjot
pertumbuhan sektor pangan. Keberanian Mahathir yang di dukung warga Malaysia
dengan menolak MF dan Soros. Sehingga Soros menjadi sangat berang dan melakukan
klarifikasi bahwa yang dibuatnya hanyalah sebuah bisnis semata dan tuduhan
Mahathir tidak berdasar. Soros juga meramalkan kejatuhan Mahathir dalam waktu
dekat, walaupun sampai hari ini belum terjadi secara riil.
III. Implikasi Globalisasi
Politik Terhadap Indonesia
Globalisasi politik telah masuk ke
Indonesia. Kedaulatan negara hari ini menjadi sebuah wacana yang tidak akan
pernah habis diperbincangkan. Disintegrasi nasional di beberapa tempat seperti
Aceh, Poso, Ambon, lepasnya Timor Timur. Rekayasa politik global (factor
ekstern) yang dikombinasikan dengan ekonomi membuat pemerintah Indonesia
menjadi bulan-bulanan di dunia Internasional. Masalah HAM, AIDS, cyber crime
(kejahatan siber), pengelolaan negara yang serba KKN, ketidakberanian
menghadapi IMF. Kejatuhan pemerintahan Suharto pada tahun 1998 yang diikuti
ketidakstabilan politik, menjadikan Indonesia merosot dari segi GNP, kemampuan
pemerintah untuk mengelola kecerdasan bangsa dan yang paling fatal adalah
krisis identitas dan jati diri bangsa.
Kebijakan otonomi daerah, agar daerah
menjadi terberdayakan telah menjadi senjata makan tuan. Keinginan beberapa
daerah untuk memerdekakan diri dan meminta otonomi seluas-luasnya dianggap
mengganggu kedaulatan negara. Kematian Theys di Jayapura menjadi indicator
bahwa pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menjaga keselamatan diri warga
negara. Pembantaian massal di Ambon, Poso, Aceh menjadi sebuah ironi dari
keinginan negara yang hendak mewujudkan masyarakat madani dan supremasi hukum.
Proses penyelesaian masalah telah membuat
kesadaran pemerintah dan warga negara agar mampu memanfaatkan lobi di dunia
internasional. Namun, sampai hari ini Indonesia masih menjadi negara yang
paling tidak stabil di kawasan ASEAN. Isu-isu lokal seperti pengelolaan hutan,
pengelolaan hutang luar negeri menjadikan Indonesia momok di dunia
Internasional baik di lingkungan LSM Internasional dan PBB.
Implikasi sangat teknis terjadi dalam sector
kebijakan ekonomi dan perdagangan. Indonesia yangmenjadi negara eksportir nomor
dua terbesar untuk karet mentah, ternyata tidak mampu untuk mengelola
perdagangan karet mentah sampai barang jadi berupa ban mobil. Terjadi
diskriminasi oleh negara barat terhadap Indonesia. Indonesia sampai hari ini
tidak boleh mengimpor mesin pembuat bahan baku karet, sehingga untuk membuat
ban mobil, Indonesia harus mengekspor dulu ke Inggris kemudian mengimpor lagi ban
mobil dari Inggris. Kebijakan untuk mendirikan pabrik pembuat bahan dasar
seperti Texmaco dan pengaplikasian ekonomi kerakyatan mendapat tentangan dari
IMF. IMF bahkan mengancam tidak akan memberikan bantuan hutang luar negeri,
jika Indonesia masih memperbolehkan Texmaco beroperasi dan mencoba menggulirkan
ekonomi kerakyatan.
·
Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi
politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena
pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan
secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari
rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara
menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi
ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan
meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan
kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial
budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi
dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan
kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa
nasionalisme kita terhadap bangsa.
·
Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme
1. Globalisasi mampu
meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan
kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi
Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa
nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek
ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya
produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di
Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan
gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa
Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya
anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena
gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap
sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya
kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya
persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan
pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan
nasional bangsa.
5. Munculnya sikap
individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga.
Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan
bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas
memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi
secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi
berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat
secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada
masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan
menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila
tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis
sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
·
Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan
Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat
merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi
terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah
membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam
kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja
kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka
menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang
seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas
tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat
beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan
cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya
bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang
memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi
bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika
digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi
jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan
mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs
porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu
handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka
lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak
anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek
tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan
dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya
adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu
ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di
atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa
menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan
nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya
bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda
adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak
memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas
pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh
karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi
terhadap nilai nasionalisme.
·
Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai
Nasionalisme
Langkah-langkah untuk
mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat
nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan
nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan
ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum,
menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil-
adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh
globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Kesimpulan
:
Terdapat berbagai macam makna demokrasi, namun intinya yaitu
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan
keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia
dunia melalui perdagangan, investasi, politik, budaya populer, dan bentuk-bentuk
interaksi yang lain. Globalisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap
nasionalisme, Globalisasi memiliki pengaruh positif dan negatif terhadap
nasionalisme. Langkah-langkah
untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai-nilai
nasionalisme antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat
nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan
nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan
ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum,
menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan seadil-adilnya
5. Selektif terhadap pengaruh
globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Pendapat
:
Menurut saya, globalisasi itu penting karena
memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan
dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, politik, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain. Globalisasi juga memiliki dampak yang negatif terhadap nilai
nasionalisme, dampak negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme juga dapat
di antisipasi dengan cara menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh,
menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai pancasila dan ajaran agama dengan
sebaik-baiknya, mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum
dengan adil dan benar, serta selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi,
sosial budaya bangsa. Dengan menerapkan cara tersebut, saya yakin kita dapat
menghindari dampak negatif terhadap nilai nasionalisme.